TAHAP PERKEMBANGAN MORAL LAWRENCE KOHLBERG
Moral adalah sikap
perilakau seseorang yang didasari oleh norma-norma hukum yang berada di
lingkungan tempat seseorang tersebut hidup. Menurut Lawrence Kohlberg, tahapan
perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya.
Menurut Kohlberg
ada 6 tahapan perkembangan moral yang dapat teridentifikasi, hal ini didasarkan
pada teorinya yang berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar
dari perilaku etis. Kohlberg memperluas
pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada
prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama
kehidupan walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari
penelitiannya.
A. Tahapan-Tahapan Moral
Enam Tahapan Moral Menurut Kohlberg :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
Enam Tahapan Moral Menurut Kohlberg :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
Keenam tahapan perkembangan moral tersebut
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat
1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat
2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat
3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
B.
Tingkatan
dalam enam tahapan moral
·
Tingkat
Pra Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada
pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam
tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai
moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam Tingkat Pra konvensional ini terdapat dua tahapan moral yaitu :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Dalam Tingkat Pra konvensional ini terdapat dua tahapan moral yaitu :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
·
Tingkat
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau
orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral yaitu :
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral yaitu :
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki
peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari
orang-orang lain karena hal tersebut menggambarkan persetujuan masyarakat
terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang
lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik..'.
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
·
Tingkat
Pasca-Konvensional
Tingkat
pasca konvensional juga dikenal sebagai tingkat berprinsip yang terdiri dari
tahap lima dan tahap keenam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu
adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.
Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat.
5. Orientasi kontrak sosial
Dalam
tahap lima, individu-individu dipandang memiliki pendapat-pendapat dan
nilai-nilai yang berbeda, dan menjadi penting bahwa mereka dihormati dan
dihargai tanpa memihak permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti
kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku.
Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
HAL YANG MENENTUKAN TINGKATAN INTENSITAS MASALAH ETIKA
Ada
4 tingkatan intensitas mengenai etika , antara lain :
a.
Etika atau moral pribadi
yaitu yang
memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada
beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat
istiadat, dan pengalaman masa lalu.
b.
Etika profesi
yaitu
serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.
c.
Etika organisasi
yaitu
serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang
menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
d.
Etika social
yaitu
norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar
keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara.
JENIS-JENIS PENYIMPANGAN DI TEMPAT KERJA
Penyimpangan atau deviance
adalah Kecenderungan untuk menyimpang dari suatu norma dengan tidak mematuhi
norma-norma yang ada tersebut. Adapun penyimpangan di tempat kerja adalah perilaku
tidak etis yang melanggar norma-norma organisasi mengenai benar atau salah.
Penyimpangan di tempat kerja dibagi menjadia 4 jenis yaitu :
1. Penyimpangan produksi
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja lamban, sengaja membuang-buang sumber daya.
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja lamban, sengaja membuang-buang sumber daya.
2. Penyimpangan hak milik
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan. Misalnya: menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, mencuri dari perusahaan lain.
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan. Misalnya: menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, mencuri dari perusahaan lain.
3. Penyimpangan politik
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
4. Penyerangan pribadi
Merupakan sikap bermusuhan atau perilaku
menyerang terhadap orang lain. Seperti: pelecehan seksual, perkataan kasar,
mencuri dari rekan kerja, mengancam rekan kerja secara pribadi.
www.gunadarma.ac.id